Perihelion

C.
3 min readAug 9, 2023

--

Photo by Scott Szarapka on Unsplash

Coba kau hitung dengan rumus Algebra, untuk mengetahui seberapa boleh krisis hati yang dialami manusia berubah sesuai dengan maunya.

Atau boleh jadi, kepekatan warna dalam emosi manusia bisa menjadi direksi kala khayalmu tersesat, menjuntai lemah dan berpegangan dengan Hukum Wien saat para astronom menyimpulkan soal suhu bintang, di mana mereka bilang bahwa semakin tinggi suhunya, maka warnanya akan semakin biru. Tapi, sering kita gunakan kata biru untuk mengekspresikan sendu dan dingin, berkebalikan dengan fakta bahwa semakin biru api, semakin panas jika disentuh.

Apa boleh semua keyakinan yang dianggap benar oleh satu kelompok, dirusak oleh kelompok lain yang dengan ogah-ogahan setuju dan memilih berontak untuk membuat istilah baru?

Maka jika itu berarti iya dan bukan kriminal, maka aku bisa pastikan akan seberapa jauh layangan takdir yang kubiarkan terus, terus, dan terus merobek angkasa lepas demi bisa bertahan dalam sepi, di saat semua orang berharap layangan mereka akan tetap bertahan dan statis di tempatnya sendiri-sendiri.

Pada waktu yang dirasa panjang dan berlabuh seribu harap dalam setiap geladak yang ditunggui makhluk kesepian, mereka mungkin tahu bahwa menjadi medioker bukan hal buruk, dan menjadi tak terlihat punya keistimewaan di banyak sisi, saat banyak manusia justru ingin banyak dikenali.

Bunyi hukum pertama Keppler tentang gerak planet mengatakan bahwa semua planet bergerak pada lintasan elips mengitari Matahari, dengan Matahari berada di salah satu fokus elips. Mungkin ini benar fakta, bahwa implikasinya, memang ada manusia yang bisa menjadi pusat tata surya di dunia yang super raksasa ini. Tapi, ada pula manusia yang hanya bisa menjadi Matahari di dunianya sendiri, yang kecil, mungil, dan hanya berisi ia seorang.

Sesuai Hukum pertama Keppler, pusat tata surya adalah bintang yang dikelilingi oleh planet yang berada di salah satu titik fokus elips. Di mana jari-jari lintasan planet merupakan jarak antara titik fokus dengan garis keliling elips. Akibatnya, ada saatnya planet-planet pada tata surya berada pada titik terdekat Matahari, mereka biasa menyebutnya aphelion. Dan ada saatnya planet-planet itu berada pada titik terjauh, sebut saja perihelion.

Pernah dengar soal titik nadir dalam hidup? Mungkin salah satunya mirip dengan kondisi perihelion, di mana mereka jauh dari atensi, dingin tanpa Matahari yang menghangatkan, berada di ujung jurang tanpa melihat satupun pendaki yang bisa menolong.

Sepi. Tersingkir. Jauh. Nol atensi.

Sisi terjauh punya banyak buruk. Karena manusia terbiasa dekat, tercipta untuk selalu dekat dengan apa dan siapa yang bisa menghangatkan kepala dan jantungnya.

Sebab terlalu dingin, berarti mati. Muka yang pasi, membiru tiada oksigen, berarti raganya mati. Perasaan yang biru, berarti tawanya mati.

Jauh, sepi, dan biru. Bukankah seharusnya hal-hal itu hanya akan mencipta derita jika disatukan, lalu menelisik ke dalam kehidupan?

Maka biru mana yang harus dipercaya? Biru terlalu panas, atau biru melukiskan sedih, atau biru yang terlalu dingin?

Rupanya mana yang terlalu, jika itu biru, semua akan benci. Hanya jiwa-jiwa berkelas yang bisa memeluk biru itu hingga menjadi teman, berwarna indah serupa langit Bumi.

Bukan soal apa dan siapa. Tapi geladak yang sepi pun boleh didatangi siapa saja, sekalipun dia seorang terkenal yang punya banyak kawan, namun ujungnya tetap kesepian.

Maka pada apapun, manusia boleh berada di titik mana saja ia mau dan di mana takdir meletakkannya, persis planet-planet di angkasa yang amat gelap sekelam jelaga itu, berputar pada garis keliling elips yang berbeda.

Yang mana baiknya, sejauh dan sedekat apapun posisi planet dengan titik fokus elips, mereka tetap akan bertemu dengan pusat tata suryanya sendiri, sembari direngkuh oleh jutaan bintang yang berpendar di langit lepas. []

--

--

C.
C.

No responses yet